Ini adalah cerita tentang seorang filsuf yang berlatar psikologi yang bernama NIETZSCHE.
Nama lengkapnya: Friedrich Wilhelm Nietzsche
Lahir: Rocken-Prusia, tanggal 15 Oktober 1844
Hari lahirnya bertepatan dengan tanggal lahirnya Friedrich Wilhelm IV, raja Prusia yang dibanggakan Sang Ayah. Karena itu, Sang Ayah memberikan nama yang sama kepada putranya.
Bagi Nietzsche sendiri, koinsidensi tanggal lahirnya itu merupakan suatu kenikmatan. Dalam salah satu karyanya, Ecce Homo, ia menulis betapa beruntungnya ia dilahirkan pada tanggal itu karena, tanggal lahirnya itu dirayakan oleh umum.
Disisi lain, ulangtahunnya tersebut menjadi sebuah kenangan masa kecil yang paling indah yang Nietzsche punya sebab setelah kepergian Sang Ayah, hidup Nietzsche berubah menjadi seorang yang lemah, sakit-sakitan dan malang.
Setalah Ayahnya meninggal, ia diasuh tunggal oleh Ibunya. Nietzsche bukan anak nakal, bahkan dikalangan teman sebayanya, ia dikenal dengan julukan “Sang Pendeta”.
Salah satu hobbynya adalah membaca. Sebagai seorang yang berasal dari keluarga pendeta, tidak mengherankan kalau Nietzsche tekun membaca injil.
Sejak kecil ia suka menyendiri dalam kesunyian, lalu ia membaca dan merenung. Ia tumbuh menjadi seorang pemalu, lemah lembut, tidak banyak bicara namun terkesan seperti orang lemah dan letih. Pada usia 18 tahun ia kehilangan kepercayaannya terhadap Tuhan. Mengingat latar belakang keluarga dan pendidikannya, maka hal ini tampaklah janggal.
Namun itulah Nietzsche, sejak saat itu ia memulai petualangnya dalam alam filsafat.
Dibalik fisiknya yang lemah, tak ada yang menduga bahwa dibalik gambaran kepribadian ini tersembunyi seorang filsuf besar.
Tak ada yang semula menyangka bahwa di dalam tubuh yang lemah dan letih serta sakitan ini tersembunyi manusia raksasa yang menggegerkan benua Eropa khususnya dan alam filsafat pada umumnya.
Bisa saja orang menafsirkan bahwa segala ungkapan Nietzche yang menjulang tinggi adalah sebuah kompensasi terhadap dirinya yang berfisik lemah.
Ada anggapan lain bahwa karya Nietzsche adalah ungkapan kegilaan. Walaupun memang benar, pada suatu saat Nietzsche berada dalam perawatan rumah sakit jiwa. Penyakitnya merapuhkan badannya dan penglihatannya kian mundur bahkan hampir buta. Ia dikenal menderia paranoia dan megalomania.
Nietzsche menganggap bahwa, dalam hidup ini yang kuatlah yang akan menang, kebajikan utama dalam kehidupan adalah kekuatan. Oleh karena itu, apa yang dinyatakan sebagai kebajikan, atau apa yang dianggap baik, haruslah kuat.
Sebaliknya, segala yang adalah buruk dan salah.
Nietzsche adalah contoh yang paling nyata dari filasafat yang menekankan logika kekuatan, dan bukannya kekuatan logika.
Dalil ini menurut Nietzsche harus berlaku baik dalam pergaulan manusia maupun dalam pergaulan antarbangsa. Ia pun sangat mengagumi ucapan Bismark yang menegaskan bahwa “tak ada altruisme dalam pergaulan antarbangsa”.
Masalah-masalah yang timbul dalam pergaulan antarbangsa bukanlah harus diselesaikan dengan jalan perundingan, penmungutan suara ataupun retrorika, melainkan oleh darah dan baja.
Oleh karena itu, perang adalah gejala yang wajar dan menentukan bangsa mana yang bisa bertahan dan bangsa mana yang harus menerima kekalahan.
Menurut Nietzsche, pikiran-pikiran kesamaan antara manusia maupun antarbangsa adalah suatu hal yang mustahil dan bertentangan dengan kodrat alam.
Dalam pergaulan antar manusia, yang harus ditumbuhkan adalah manusia-manusia unggul, Übermensch, atau Superman, yaitu mereka yang oleh kekuatannya bisa mengatasi kumpulan manusia dalam massa.
Sehubungan dengan jalan pikiran itu, Nietzsche menganggap perlu adanya suatu sistem aristokrasi. Bukan suatu aristokrasi yang berdasarkan keterumunan, melainkan suatu aristokrasi yang dipimpin oleh manusia-manusia yang memenuhi syarat keunggulan tersebut.
Hanya pemimpin yang kuat, ceradas, dan bangga bisa diandalkan oleh masyarakat.
Menurut Nietzsche, demokrasi adalah suatu gejala yang menunjukan bahwa suatu masyarakat sudah menjadi busuk sehingga tidak mampu lagi melahirkan pemimpin-pemimpin yang agung.
Demokrasi adalah suatu mania belaka, tempat setiap orang sempat bersaing sambil berteriak sama-rata-sama-rasa, padahal manusia bersaing justru karena mereka berbeda-beda.
Pada tahun 1887, dalam suatu karyanya Nietzsche mengatakan bahwa lima puluh tahun kemudian negara-negara demokrasi yang dianggapnya pemerintahan kaum dagang akan terlibat dalam sengketa yang dasarnya adalah kepentingan dagangnya masing-masing.
Salah satu karya Nietzsche yang dianggap paling terbesar adalah Demikianlah Sabda Zarathustra, yang sering disebut juga sebagai Dendang Zarathustra ini oleh Nietzsche sendiri dianggap paling unggul diantara karya-karyanya.
Dalam Ecce Homo ia menuliskan : “karya ini secara keseluruhan adalah tunggal; kesampingkan pera penyair; mungkin tiada karya yang dihasilkan dengan kekuata yang sedemikian melimpah ruah. Biarlah seseorang menghimpun semangat dan kebijakan semua yang jiwa besar; kesemuanya bahkan tidak akan mampu bahkan menghasilkan satu pun diantara percakapan-percakan Zarathustra”.
Nietzsche yang telah kehilangan kepercayaan terhadap Tuhan, telah “memusnahkan” tuhan, rupanya telah menemukan Zarathustra sebagai gantinya dan sejak pertemuannya ini, Nietzsche seperti tak henti-hentinya mengurus segala potensinya untuk mengungkapkan alam pikirnya. Bagi Nietzsche, manusia harus tak henti-hentinya mencipta.
“kreasi adalah pelunasan terhdap penderitaan dan cahaya ayng kian terang dalam kehidupan. Namun untuk menjadi pencipta, diperlukan penderitaan dan banyak perubahan. Begitulah, kalian harus banyak kali menjalani kematian yang pahit dalam hidup kalian, hai pencipta”.
Demikianlah jalan pikiran Nietzsche mengenai matinya para Tuhan. Antitheisme yang sangat radikal ini merupakan nada-nada yang selalu diulang oleh Nietzsche dalam berbagai karyanya. Nietzsche seolah-olah hendak membuktikan setegas-tegasnya bahwa manusia baru menjadi agung apabila ia sudah sanggup menrima berita kematian Tuhan.
'Dengan suatu konsistensi yang nyata melalui karyanya, Nietzsche menginginkan suatu moralitas baru bagi zamannya; bukan lagi moralitas budak yang diterima secara begitu saja oleh orang banyak; bukan ‘Herren-moral’. Inilah yang oleh Nietzsche disebut dua kemungkinan sebagai asas moralitas. ‘Hherren-moral’ hanya mungkin dibina atas dasar kekuatan, kecerdasan, dan kebanggaan. Adapun keberanian yang ditumbuhkan diatasnya adalah keberanianyang menyeluruh: berani menapat hidup, menghadap bahaya, menanggung derita, memeluk kesepian, menantang perang, menaklukan ketakutan, dan berani menyambut maut. Berani adalah mereka yang tahu ketakutan, tetapi menaklukan apa yang menjadi ketakutan itu, mereka yang menyaksikan jurang yang dalam dengan rasa bangga – Zarathustra.
Nietzsche mengutuk mereka yang pura-pura berani. Mereka yang berpura-pura yaitu mereka yang punya pretensi untuk hidup unggul atau berkehendak untuk lebih berkuasa lagi, sebenarnya menipu dirinya sendiri. Mereka ayng pura-pura ini sebenarnya hidup dalam serba kepalsuan.
Setiap orang mempunyai tempat sendiri dalam kehidupan ini, yaitu sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Oleh karena itu, segal ikhtiar manusia harus disesuaikan dengan batas-batas kemampuannya sendiri. Barang siapa hendak mendaki ketinggian haruslah ia menggunakan kakinya sendiri.
Nietzsche mengakui bahwa mengenali kemampuan sendiri tidaklah mudah. Oleh karena itu pula, manusia sering menghendaki sesuatu yang melebihi kemampuannya. Sukar bagi manusia untuk sadar akan batas-batas kemampuan dirinya.
Berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya yang mantap dan pasti dalam menjalani hidup dalam alamnya, manusia diibaratkan nietzsche sebagai “hewan tak pasti”. Ia tak mantap sejak sadar akan dirinya sebagai ‘Aku’. Demikianlah Nietzsche mengingatkan dan sejak dirinya sadar sebagai ‘Aku’ maka manusia menjadi tak pasti.
Dalam kecintaan serta keberanian menempuh hidupnya, manusia sepatutnya tidak mengharapkan belas kasihan orang lain. Nietzsche menyatakan kemuakannya terhadap orang-orang yang mengharap dan menuntut belas kasihan. Mereka ini adalah penjewantahan manusia lemah dan hina. Mereka adalah orang-orang yang menikmati penderitaannya, bukan karen asanggup menderita melainkan karena dengan penderitaannya itu mereka bisa mengharap belas-kasihan orang lain.
Sepanjang menjelajahi alam pikiran Nietzsche, maka nyatalah betapa Nietzsche tidak mengenal kekhawatiran ataupun hambatan-hambatan. Ia menerjang segala yang sudah ditegakkan oleh orang seblumnya. Ia membongkar gereja dan ajaran-ajarannya. Ia tidak tanggung-tanggung membongkarnya dari akar-akarnya. Mungkin dalam sejarah antiteisme belum pernah tercatat adanya seorang filsuf yang sedemikian ganasnya “mematikan Tuhan”.
Seorang yang hendak membina suatu moralitas, yaitu orang yang sungguh-sungguh hendak menjadi pencipta, haruslah lebih dahulu menunjukkan keberaniannya untuk memusnahkan nilai-nilai lama. Seorang pencipta harus berani menyatakan apa yang benar menurut anggapannya. Adakalanya kebenaran sungguh pahit untuk dinyatakan. Akan tetapi kebenaran harus diungkapkan, sebab kebenaran tidak bisa dipendam dan disembunyikan tanpa berbalik menjadi racun yang membinasakan. Orang yang bijaksana niscaya tidak akan ingkar terhadap kebenaran serta sanggup mengungkapkannya, sebab diam adalah lebih buruk; semua kebenaran yang disembunyikan akan menjadi racun.
Itulah mengapa Nietzsche mengganas dalam mengungkapkan apa yang baginya dianggap benar dan dengan cara mengulang-ulang, ia berusaha menyakinkan orang lain bahwa yang diajarkannya adalah benar. Nietzsche bisa diblang sebagai seorang nihilis karena ia lebih dahulu menihilkan segala nilai lama dan mempersetankan segala nilai yang sudah mantap. Ia menjaring segala yang dirasakan menghalanginya untuk mencipta. Arus pikirannya yang deras dipancarkan dalam bentuk yang tegas sekaligus artistik. Ia boleh disebut sebagai vitalis karena gairahnya yang luar biasa untuk hidup. Ia jelas tidak bisa dibandingkan dengan filsuf-filsuf yang kaku dalam sistematika. Ia sungguh-sungguh mencintai petualangan yang bebas dan berbahaya, juga dalam melampiaskan apa yang menjadi alam pikirannya. Hal ini paling nyata dalam Dendang Zaratustra. Ia tidak menghiraukan aturan, tidak dalam hidupnya atau dalam merumuskan pikiran-pikirannya. Kalau orang hendak memberi ciri pada alam pikirannya, Nietzsche mengatakan bahwa alam pikiran serta kebijaksaannya adalah sesuatu yang mengganas, ibarat perahu layar yang dilanda gelombang samudra.
Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa ungkapan”wild wisdom” ini telah menggoyahkan nilai-nilai lama yang sudah mantap di benua Eropa waktu itu. Siapa menduga bahwa orang yang lemah dan sakitan ini, orang yang pada masa kanak-kanaknya tengah disiapkan utnuk menjadi pendeta yang saleh, orang yang dalam hidupnya mengalami silih bergantinya kegemilangan berpikir dan kegilaan, orang yang sangat pemalu dan menyendiri.
Ia tahu bahwa orang pada zamanya tidak akan mampu memahaminya. Makin ia merasa tidak dimengerti orang, makin menjadi-jadi gejala paranoia dan megalomania padanya. Bukunya yang terakhir. Ecce Homo, penuh dengan pujian-pujian tentang dirinya sendiri.
Pada akhir hidupnya Nietzsche harus dirawat di rumah sakit jiwa, tetapi ibunya tidak samapi hati dan membawanya pulang untuk dirawatnya sendiri. Ibunya meninggal tiga tahun mendahului putranya yang dimanjakannya sejak masa kanak-kanak.
Lalu Nietzsche dirawat oleh saudaranya, Elizabeth. Melihat elizabeth menangis, Nietzsche berkata, “Jangan menangis, bukankah kita ini bahagia?” Ketika pembicaraan berkisar tentang buku-buku, maka Nietzsche dengan bangga berkata, “Akupun telah menulis buku-buku yang baik”.
Pada usia yang tidak terlalu lanjut, tanggal 25 Agustus 1900, rajawali filsuf ini menghembuskan nafasnya yang penghabisan, di Weimar, meninggalkan nama dan karya-karyanya yang sampai hari ini tidak pernah usang untuk dinikmati berulang-ulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar